Kamis, 01 Maret 2012

Cara Mensyukuri Nikmat.

Segala nikmat yang diperoleh hamba dalam bentuk apapun, baik yang bersifat materi atau non-materi, yang bersifat duniawi atau ukhrawi (akhirat), maka wajib untuk disyukuri. Tentunya semakin banyak dan besar suatu pemberian maka kewajiban untuk bersyukur pun semakin besar. Bersyukur merupakan ibadah yang besar, sebagaimana firman-Nya: “Dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (An-Nahl: 114)


Mensyukuri nikmat juga sebab paling utama untuk dilanggengkannya nikmat serta ditambahnya nikmat. Namun sebaliknya, mengkufuri (mengingkari) nikmat apalagi menggunakannya untuk kemaksiatan (perbuatan yang dibenci Allah) merupakan faktor utama dari dicabutnya nikmat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)

Tentunya merupakan sikap yang sangat tercela bila seorang tidak mau berterima kasih kepada Sang Pemberi nikmat. Terlebih lagi sampai menggunakannya pada perkara yang mendatangkan kemurkaan Sang Pemberi. Bila seperti ini seseorang menyikapi pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka azab lebih dekat ketimbang rahmat, dan kenikmatan sudah di ambang pintu untuk meninggalkannya. Sungguh malang nasib seorang manusia yang diberi adzab oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam bentuk berpalingnya Allah dari kehidupannya dan membiarkannya semakin bergelimang dalam kubangan dosa, hingga ia dibutakan untuk bisa kembali ke jalan kebaikan. Sungguh adzab yang sangat pedih telah menantinya di akhirat kelak.

Cara Mensyukuri Nikmat

Hendaknya kita bisa memahami dengan baik cara mensyukuri nikmat, karena ada sebagian manusia yang sudah merasa mensyukuri nikmat dengan mengucapkan ‘alhamdulillah’ , bahkan sebagian lagi tidak tahu cara melakukannya. Dibawah ini beberapa cara yang bisa dijadikan panduan dalam mensyukuri nikmat :

1. Meyakini dalam hati bahwa nikmat yang diterima semata-mata pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seorang yang beriman seharusnya tidak menisbatkan (mengarahkan sebab timbulnya) nikmat kepada kekuatan, kepintaran, keberaniannya, dan semisalnya. Sebagai contoh Nabi Sulaiman alahi salam tatkala singgasana Ratu Saba’ bisa didatangkan di hadapannya dalam tempo sekejap, maka beliau berkata: “Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (An-Naml: 40)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Nabi Sulaiman as tidak teperdaya dengan (menyombongkan) kerajaan, kekuasaan, dan kemampuannya. Ini berbeda dengan kebanyakan para raja yang bodoh. Nabi Sulaiman q tahu bahwa ini adalah ujian dari Rabbnya, sehingga khawatir bila tidak mampu mensyukurinya.” (Tafsir As-Sa’di hal. 605)

Coba bandingkan dengan sikap dan ucapan Qarun yang menyombongkan kemampuannya, seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan: “Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)

Ucapan dan kesombongan Qarun sudah berlalu beribu-ribu tahun, namun sikapnya masih terus terwariskan sampai saat ini. Kerap sekali kita dengar ucapan yang senada dengannya, seperti: “Harta ini saya peroleh semata-mata karena hasil karya dan ketekunan (kerja keras) saya.” Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman: ”Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (An-Nahl: 53)

2. Memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya dengan mengucapkan puji syukur dan menceritakannya secara lahir.

Karena, selalu mengingat dan menceritakan (bukan untuk kesombongan , red) pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendorong untuk bersyukur. Hal itu karena manusia mempunyai tabiat menyukai orang yang berbuat baik kepadanya.

3. Menggunakan nikmat untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan untuk maksiat, serta merealisasikan beragam amal shalih sebagai bentuk mensyukuri nikmat.

Karena nikmat hanyalah titipan yang seharusnya dijaga dan tidak dipergunakan kecuali pada batasan-batasan yang dibolehkan agama. Apabila kita perhatikan perjalanan hidup para kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan para nabi dan orang-orang shalih, niscaya kita dapati mereka adalah teladan dalam mensyukuri nikmat. Kedudukan dan kekuasaan yang ada pada mereka dijadikan sarana untuk menebarkan keadilan di tengah-tengah manusia. Harta yang mereka peroleh dibelanjakan pada pos-pos kebaikan serta untuk menyokong untuk kemuliaan Islam dan muslimin. Ilmu yang mereka dapatkan diamalkan dan ditebarkan tanpa mengharapkan apapun kecuali keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lihat salah satu misal teladan terbaik bagi kita yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana beliau banyak melakukan shalat malam hingga bengkak kakinya. Tatkala beliau ditanya tentang hal itu, padahal dosa dan kesalahannya yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni, maka beliau bersabda: “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR Al-Bukhari)



Sumber : disadur dan dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad AbdulMu’thi, Lc, berjudul “Menyikapi Nikmat Dunia Sebagai Ujian” dari Majalah Asy Syariah. (Melalui "Sang Pencerah Qalbu")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar